Tamu
agung itu sebentar lagi akan tiba, sudah siapkah kita untuk
menyambutnya? Bisa jadi inilah Ramadhan terakhir kita sebelum menghadap
kepada Yang Maha Kuasa. Betapa banyak orang-orang yang pada tahun lalu
masih berpuasa bersama kita, bertarawih dan beridul fitri di samping
kita, namun ternyata sudah mendahului kita dan sekarang berbaring di
peristirahatan umum ditemani hewan-hewan tanah. Kapankah datang giliran
kita?
Dalam dua buah hadits berikut, Nabi shallallahu’alaihiwasallam menggambarkan dua golongan yang saling bertolak belakang kondisi mereka dalam berpuasa dan melewati bulan Ramadhan:
Golongan pertama digambarkan oleh Nabi shallallahu’alaihiwasallam dalam sabdanya,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang
siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan
pahala, maka akan dosanya yang telah lalu akan diampuni”. HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
Golongan kedua digambarkan beliau shallallahu’alaihiwasallam dalam sabdanya,
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ
“Betapa banyak orang berpuasa yang hanya memetik lapar dan dahaga”. HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah. Al-Hakim menilainya sahih. Syaikh al-Albani berkata: hasan sahih.
Akan termasuk golongan manakah kita? Hal itu tergantung taufiq dari Allah ta’ala dan usaha kita.
Bulan
Ramadhan merupakan momentum agung dari ladang-ladang yang sarat dengan
keistimewaan, satu masa yang menjadi media kompetisi bagi para pelaku
kebaikan dan orang-orang mulia.
Oleh
sebab itu, para ulama telah menggariskan beberapa kiat dalam
menyongsong musim-musim limpahan kebaikan semacam ini, supaya kita turut
merasakan nikmatnya bulan suci ini. Di antara kiat-kiat tersebut[1]:
Kiat Pertama: Bertawakal kepada Allah ta’ala.
Syaikhul
Islam menjelaskan, “Dalam menyambut kedatangan musim-musim ibadah,
seorang hamba sangat membutuhkan bimbingan, bantuan dan taufiq dari
Allah ta’ala. Cara meraih itu semua adalah dengan bertawakal kepada-Nya”.
Oleh
karena itu, salah satu teladan dari ulama salaf -sebagaimana yang
dikisahkan Mu’alla bin al-Fadhl- bahwa mereka berdoa kepada Allah ta’ala
dan memohon pada-Nya sejak enam bulan sebelum Ramadhan tiba, agar dapat
menjumpai bulan mulia ini dan memudahkan mereka untuk beribadah di
dalamnya. Sikap ini merupakan salah satu perwujudan tawakal kepada
Allah.
Syaikhul
Islam menambahkan, bahwa seseorang yang ingin melakukan suatu amalan,
dia berkepentingan dengan beberapa hal yang bersangkutan dengan kondisi
sebelum beramal, ketika beramal dan setelah beramal:
>> Adapun perkara yang dibutuhkan sebelum beramal adalah menunjukkan sikap tawakal kepada Allah ta’ala dan semata-mata berharap kepada-Nya agar menolong dan meluruskan amalannya.
Ibnul Qayyim memaparkan bahwa para ulama telah bersepakat bahwasanya salah satu indikasi taufiq Allah ta’ala
kepada insan adalah pertolongan-Nya untuknya. Sebaliknya, salah satu
ciri kenistaan seorang hamba adalah kebergantungannya kepada kemampuan
diri sendiri.
Menghadirkan rasa tawakkal kepada Allah ta’ala
adalah merupakan suatu hal yang paling penting untuk menyongsong
musim-musim ibadah semacam ini; guna menumbuhkan rasa papa, tak berdaya
dan tidak akan mampu menunaikan ibadah dengan sempurna, melainkan semata
dengan taufiq dari Allah ta’ala.
Selanjutnya, seyogyanya kita juga memohon kepada Allah ta’ala agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan dan supaya Allah ta’ala
membantu kita dalam beramal di dalamnya. Ini semua merupakan amalan
yang paling agung yang dapat mendatangkan taufiq Allah dalam menjalani
bulan Ramadhan.
Kita amat perlu untuk senantiasa memohon pertolongan Allah ta’ala ketika akan beramal karena kita adalah manusia yang disifati oleh Allah ta’ala sebagai makhluk yang lemah:
“وَخُلِقَ الإِنسَانُ ضَعِيفاً”
Artinya: “Dan manusia dijadikan bersifat lemah”. QS. An-Nisa: 28.
Jika kita bertawakal kepada Allah dan memohon kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi taufiq-Nya pada kita.
>>> Di saat mengerjakan amalan ibadah, poin yang perlu diperhatikan seorang hamba adalah: ikhlas dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam.
Dua hal inilah yang merupakan syarat diterimanya suatu amalan di sisi
Allah. Banyak ayat dan hadits yang menegaskan hal ini. Antara lain:
Firman Allah ta’ala,
“وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ”
Artinya: “Padahal mereka tidaklah diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya”. QS. Al-Bayyinah: 5.
Dan sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,
“مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ“
“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu akan tertolak”. HR. Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha.
>>>> Usai beramal,
seorang hamba membutuhkan untuk memperbanyak istighfar atas
kekurangsempurnaannya dalam beramal, dan juga butuh untuk memperbanyak
hamdalah (pujian) kepada Allah ta’ala Yang telah memberinya
taufiq sehingga bisa beramal. Apabila seorang hamba bisa
mengkombinasikan antara hamdalah dan istighfar, maka dengan izin Allah ta’ala, amalan tersebut akan diterima oleh-Nya.
Hal
ini perlu diperhatikan betul-betul, karena setan senantiasa mengintai
manusia sampai detik akhir setelah selesai amal sekalipun!. Makhluk ini
mulai menghias-hiasi amalannya sambil membisikkan, “Hai fulan, kau telah
berbuat begini dan begitu… Kau telah berpuasa Ramadhan… Kau telah
shalat malam di bulan suci… Kau telah menunaikan amalan ini dan itu
dengan sempurna…” Dan terus menghias-hiasinya terhadap seluruh amalan
yang telah dilakukan sehingga tumbuhlah rasa ‘ujub (sombong dan
takjub kepada diri sendiri) yang menghantarkannya ke dalam lembah
kehinaan. Juga akan berakibat terkikisnya rasa rendah diri dan rasa
tunduk kepada Allah ta’ala.
Seharusnya kita tidak terjebak dalam perangkap ‘ujub.
Pasalnya, orang yang merasa silau dengan dirinya sendiri karena bisa
begini dan begitu, serta silau dengan amalannya; berarti dia telah
menunjukkan kenistaan, kehinaan dan kekurangan diri serta amalannya.
Hati-hati dengan tipu daya setan yang telah bersumpah,
“فَبِمَا
أَغْوَيْتَنِي لأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ . ثُمَّ
لآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ
أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ”.
Artinya: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka (para manusia)
dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari
muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka”. QS. Al-A’raf: 16-17.
-bersambung-Ditulis oleh Ust. Abdullah Zaen, Lc, M.Asumber: http://tunasilmu.com
Endnote:
[1] “Agar Ramadhan Kita Bermakna Indah”,
nasehat yang disampaikan oleh guru kami Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin
‘Amir ar-Ruhaily pada malam Jum’at 27 Sya’ban 1423 H di Masjid Dzun
Nurain Madinah. Plus penjelasan-penjelasan lain dari penyusun.
0 komentar:
Posting Komentar